Thursday, May 5, 2011

Si Chemonk namanya, dia lagi di Medan...

by Erick Monk Ozta on Monday, June 28, 2010 at 3:52pm



            Sore tadi hujan mengguyur sebagian kota Medan...dan aku nggak terkecuali... ikut merasakan dampaknya. Kalau kulihat di kiri kanan jalan...yg selalunya tertutup oleh debu dan asap, hari ini disiram air hujan, aku suka...karena debu itu tiba tiba "Ging Kang" dari pelupuk mataku. Sebagian orang mengumpat dan sebagian orang bersyukur.

            Sedangkan aku jatuh dikedua kategori tersebut. Ya mengumpat... ya bersyukur. Mengumpat karena Si Zega orang Nias yg bawa beca mesin itu bilang : " aduh pak... hujan pulak ini..."( dia bilang begitu, seolah baru pertama kali aku melihat hujan. Sarkasme... berarti dia secara halus, mengingatkan aku untuk lebih bertimbang rasa, dengan memberikan ongkos becak lebih sedikit dari biasa. dengan gaya "panggaron" Medan... akupun dengan 'mentikonya " menjawab garang... " aaaahhh... kau Zega....udaah tau mau hujan... menarik becak pulak kau.... " dan si Zega tukang becak mesinku menjawab dengan arifnya " aduhhh... bapak ini macam mana pulak... ?... kalau aku nggak narik becak.... siapa pulak yg mau ngangkut bapak hujan hujan begini ?.....kufikit fikir... ermmm betul juga kata si Zega ini.

              Dengan" Sok Breiker " ( Shock Absorber ) becaknya yg super empuk, sehingga kepalaku tidak jarang terbentur atap becak mesinnya yg bertulang kayu itu.Kami melewati Titi Gantung... tempat yg begitu familiar buat aku... karena disitulah Gramediaku pada waktu itu...membaca buku buku usang disitu, di temani suara kereta api, becak mesin dan Sodaco yg makin menambah nikmatnya membaca disitu.... AC ? seperti di Gramedia ?... jauh panggang dari api....jangankan AC.. nggak terkena asap becak mesin sama sodaco aja udah maturnuwun.

                  Kenangan beberapa kurun yg lalu itu hadir kembali di benakku...di dekat situ jugalah... dulu aku sering Barter Jean aku dengan 5 bungkus nasi. It's so sweet..teringat pergi kuliah dengan Jean bodol. Bukan berarti mau sok Eksentrik, tapi memang karena nggak punya duit beli Jean baru. Pada waktu itu, ... lebih baik beli kaset, dari pada beli sehelai jean baru. Atau lebih parahnya, ..aaaaahh simpan aja untuk makan dua tiga hari ini.

               Ngomong ngomong soal makan, aku pernah kecewa dalam hal makan. Waktu itu, duit kami tinggal semata wayang. Yaitu tinggal "seribu perak". Aku harus beli nasi untuk makan dua orang, yg selama dua hari, baru makan dua kali. Akupun melangkah dengan gagah perkasa, pergi ke kedai "Ajo" ( sebutan untuk org Padang yg berjualan nasi ) beli sebungkus nasi  untuk kasih makan Dua Buto Ijo yg kelaparan ( termasuk diriku ). Nasi pakai rendang = lima ratus perak, tapi itu porsi untuk satu Buto ijo.

            Jadi kubilang sama si ajo... " Jo..nasi rendang ciek, nasi tambuh, kuah nangka banjir, sambalado lobih lah sikit " kataku dengan sedikit bahasa Padang berlogat Jawa pekat.
si Ajo pun dengan sigap membungkus nasi ukuran Jumbo dengan satu potong rendang, daun ubi, sambalado dan kuah nangka.Jadi aku harus membayar 750 ribu perak, yg 250 perak sisanya... untuk beberapa batang rokok. Kalau kufikir sekarang... alamak...itu porsi untuk tiga kuli Pelabuhan Belawan.

                Dengan penuh semangat, kami buka lah Bungkusan nasi tadi. .. aroma nasi bungkus si Ajo memang lebih menggiurkan di banding ngeliat Luna Maya lagi " Bawa Acara Video eh... TV maksudku. Apa tidaknya....dua Buto ijo kelaparan. Segera kami serbu nasi bungkus itu tanpa basa basi. Terlihat gundukan " Rendang " berselimut kuah rendang yg creamy dan tersergam indah seperti Gedung DPR/MPR itu membuat kedua buto ijo itu tambah bernafsu..dalam keadaan seperti itu, ada aturan yg tidak tertulis dalam dunia anak Kost, ... siapa yg pergi beli,.. maka dialah yg mendapat kehormatan untuk melakukan First Bite terhadap rendang itu. Maka...kujejalkan nasi banyak banyak kedalam mulutku yg "cute" itu sambil menggigit rendang dengan mata terpejam penuh dengan perasaan.

          Biasanya, ... kalau rendang digigit, tidak menimbulkan suara. Karena empuk. Tapi.... begitu ku gigit....bunyinya" mak kressssttt" gitu. Bunyinya persis seperti kalau kita gigit Bengkoang. Pada saat itu juga, darahku naik seketika. Dalam hatiku, ingin rasanya aku segera Balik ke kedai makan Ajo , sambil membawa parang. Apa tidaknya... yg ku sangka rendang besar tadi,... ternyata Lengkuas yg berselimut kuah rendang...hajab kali bah.... tapi... karena perutku sudah mendendangkan lagu lagu almarhum Pak Gesang...

           Kami telan juga lah nasi bungkus berlauk lengkuas rendang itu sampai licin tandas, sambil menyumpah si Ajo tujuh turunan. Kusumpah tujuh turunan si Ajo nggak ada yg Jawa. ( macam mana pulak orang Padang beranak org Jawa ? ) memanglah... nggak ku sumpah pun... memang ajo nggak akan pernah punya anak orang Jawa.Dia dari Solok, cucu kepada Bagindo Nan Mangulok Gadang, sedangkan, dari Istrinya, kerabat Paya Kumbuah...dua duanya Minang.

                Si Zega terbatuk batuk kecil, sambil sekali sekali sengaja membetulkan letak Mantol Hujan yg melindunginya dari gerimis sore itu, supaya aku bersimpati kepadanya dan memberinya ongkos lebih. Dia pun dengan penuh semangat membuka cerita soal Politik Indonesia yg aku sendiri kurang begitu arif mengenainya.

         Dia ngomong soal demokrasi, .. dia ngomong soal rakyat kecil yg menjadi korban politik Amburadul,... dia ngomong soal harga susu anaknya nggak pernah turun,... dia ngomong soal pendidikan di negara ini. Terlihat jelas sekali, guritan raut wajahnya yg berbau kekecewaan yg mendalam terhadap orang orang yg memerintah Negeri ini.Orang orang yg mempunyai saham, meluluh lantakkan Negeri ini. si Zega prihatin, si Zega kecewa...

        Tapi sebagai orang kecil, jelas kami ridak bisa berbuat apa apa. Untuk mengalihkam perhatiannya terhadap keperitan hidup ini, aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Tapi memang tidak satupun, bahan pembicaraan yg tidak menyangkut harkat sosial suatu kehidupan. Semuanya saling berkait rapat, seperti jalinan tikar.

                                   Tanpa kami sadari, kami sudah melewati Kantor Pos Besar, di depan Merdeka Walk. Masih tegar, masih gagah. Tertulis disitu jelas, didirikan pada tahun 1911. Entah oleh siapa, akupun kurang pasti, ... tapi kata Wak No, orang Jawa yg jualan Bakso didepan itu, katanya " ini Gawean Londo Mas ". Aku cuma bisa mengangguk, wlaupun anggukanku hanya sekedar bersinetron seperti orang kagum, untuk memberikan rasa bangga pada Wak No bakso tadi.

                Di sebelah kiriku, kantor Walikota yg Putih bersih indah dan sudah di komersiilkan menjadi sebagian lahan bisnis orang orang tertentu. Kata orang, semua bangunan disitu , hampir semua peninggalan jaman "Londho". Tiba tiba, ada bangunan baru di belakangnya... kata orang, Hotel besar..tapi kenapa mereka nggak disesuaikan bentuk dan warna bangunan baru itu dengan Kantor Wali Kota yg memang menjadi salah satu "Icon" kota Medan?.

                 Pemandangan sudah agak terkontaminasi disitu...kata si Raja Guguk penjual rokok di depan Hotel Dharma Deli: " Aaahh... Hepeng do mangatur Nagaraon bah.. ". Artinya : Duit yg mengatur Negara. Dan Kontaminasi Tata Kota Medan, sepertinya akan berkelanjutan.
Si Zega membuka mantol hujannya. Sepertinya ,.. hujan sudahpun reda. Dan kamipun sudah sampai di Kampung Keling. Perutku sudah mulai menggelitik.

                 Pagaruyung memang tempat makan yg praktis, manis,ekonomis dan sedikit nylekutis. Tapi disitulah tempat kami makan. Artinya, disitulah tempat yg kami mampu untuk makan. Cafe ? weleh welehh..lha wong harga Kopi secangkir aja dua puluh lima ribu ? ya tumpur lah aku. Seperti kulihat di sekeliling Lapangan Merdeka yg sudah bertukar nama menjadi " Merdeka Walk ".. itulah panggilan keren yg mereka beri sekarang. Penuh dengan Cafe cafe yg terlihat glamour, walaupun di mata aku, pemandangan itu seperti Semak.

                Seperti dipaksakan. Aku bertanya dalam hati... apa udah nggak ada tempat lain mau di Bikin Cafe ? apa tidak ada tempat lain untuk di bikin Hotel, selain merusak Pemandangan di Depan Kantor Walikota ? ..tapi... kita ini rakyat kecil, kata si Zega, memang..aku tidak akan mampu untuk duduk dan makan disitu, di Merdeka Walk yg keren itu. Paling aku hanya bisa melihat dan menelan ludah. Karena memang itu bukan kelasku.Jelas di luar jangkauanku.

            Orang sudah mulai berdatangan dan memenuhi Pagaruyung. Bang Raja yg India itu masih di situ. Kue Tiauw Ah Kuang yg tidak mempunya pohon itu masih disitu. ( Kalau pohon nggak ada, cabangnya juga nggak ada. itu maksudku ). Akupun segera menjamu selera, dengan nasi Gurih berlauk Ayam goreng super garing dan renyah.   Minumku, jus Terong Belanda. ( sepertinya produk Indonesia harus di beri nama Bule agar bisa laku )....

           Seorang anak lari lari kecil di tengah hujan yg renyai, membawa seperangkat alat Semir sepatu. Bocah sekecil itu, seharusnya ada di rumah dan minum susu anget sambil nonton TV.... Aku jadi teringat Lyric lagu Utha Likumahua " Tuhan pun tau... hidup ini.. sangat berat... tapi takdirpun.. tak mungkin slalu sama.... " . aaaahhhhh ... ironis memang...tapi itulah hidup.

           Jalanan sudahpun mulai kering..aku menyeberang ke Sun Plaza.. satu mall yg paling bergengsi di kota Medan pada saat ini. Mobil mobil mewah silih beganti.. datang dan pergi..setelan setelan yg Up to date, dan para "Wanna be" yg memenuhi cafe cafe sambil cekikikan, seolah masalah itu nggak pernah hinggap di benak mereka. Itulah sketsa kehidupan. Jaraknya hanya 10 meter antara Pagaruyung dan Sun Plaza..

            Tapi ceritanya begitu betolak belakang..begitu berbeda.Sekali lagi aku menelan ludah, menghidu bau Kopi mahal di depan Cafe itu. yaaa... cuma itu yg bisa kulakukan. Sepertinya , aku harus puas dengan meneguk Kopi tubruk yg di buat Bang Raja di Pagaruyung tadi...

               Setelah puas aku menjamu mata dan menyakitkan hatiku sendiri di Sun Plaza, akupun segera lompat ke atas becak dayung menuju ke Jalan Nibung. Tempat kami selalu ngumpul, tempat kami selama ini berjuang. Kesan remang remang jalan Nibung sudah nggak ada...perubahan itu hampir 100 %. Dulu... ya.. dulu... kami selalu tersepit diantara remang remang Jalan Nibung yg dikelilingi oleh Hotel Hotel Mewah. Bukan Hotel lima bintang, tapi hotel Murah Meriah. Jalan Nibung... riwayatmu dulu...Jalan Nibung dulu sangat terkenal sebagai daerah " Red Light District " di medan. isinya, Hotel mewah, tempat massage dan Pub. Dari Pub Batak, sampai Pub Country. Semua ada disitu. Premannya juga banyak.

               Sekarang keadaannya sudah berubah 180 derajat. Jalan Nibung sudah penuh dengan Mobil Bekas... dari Hulu sampailah ke Hilir. Mungkin hanya kami yg belum berubah disitu. Artinya... kegiatan kami dari dulu masih Musik. Dan kami masih disitu.

               Sewaktu aku masuk, Ilok yg perkasa sedang main game...Tukino dengan mata setengah terpejam sedang berusaha sekuat tenaga menegakkan kepalanya. Sedangkan Yudhi, tuan empunya Studio.. masih dalam perjalanan. Rindu sekali rasanya, duduk bersama , membahas lagu, buat samplign keyboard, ngelus elus Fender Rhodes, rekaman di Robinson Studio, Shooting untuk acara TV dan latihan untuk ngiringi artis Jakarta.

          Aku banyak belajar dari kawanku yg satu ini. Banyak sudah Ilmu Keyboardnya yg kucuri selama kami berkawan sekian lama. Dia juga seorang penulis lagu yg handal. Kami sering nulis lagu bersama waktu itu. Salah satunya " Tembang Kebangkitan ", sebuah lagu Reagae yg kami rekam untuk acara TV pada waktu itu. Dia yg tulis lagu, aku yg menulis Lyricnya. Simbiosis itu sepertinya begitu mulus, seperti aliran air.

            Ya.. kami masih sangat idealis pada waktu itu... kami masih begitu naif dengan segala macam permasalahan kehidupan pada waktu itu.Dia juga bukan seorang yg tinggi hati, bahkan nggak berlebihan kalau ku bilang sangat "Humble", dan sikap itulah yg mempermudah kami berkawan sehingga sekarang.

           Selepas hujan, udara agak gerah... Humid dan melekit. Aku ke belakang untuk pesan Nutrisari dingin kegemaranku. Sewaktu ku buka pintu belakang Studio, disitu tercongok seorang wanita tengah baya, bertatoo, rambutnya perang dan memakai Seragam Polisi, lengkap dengan topinya... kalau nggak salah, pangkatnya Sertu.

           Roknya berwarna hijau Es Doger ( florescence Color ), ah mungkin ini seragam Polisi Indonesia yg baru. Yg pasti dia nggak pakai Sepatu hak tinggi yg di design oleh Jimmy Choo. Tapi .... kok minta duit parkir sama orang disitu ? setelah kuselidiki, ternyata ,... dia memang kurang siuman. Orang medan bilang.. "Bocor Halus itu bang ".

           Rasa ingin tauku semakin menjadi...akupun keluar pintu Studio dan minum di warung si Agus, duduk bersebelahan Tukino, org jawa yg sangat baik hati itu. Ternyata, wanita yg Bocor Halus tadi...tinggal di bawah pohon mangga di belakang kantor Kelurahan.Di bedeng yg di bangunnya di belakang kantor itu, penuh dengan Poster artis, diantaranya poster Ariel Peterpan. Aku tersenyum....ternyata, orang yg Bocor Halus pun, mendambakan Ariel. Salut aku sama dia. Bertuah sekali dia menjadi laki laki. Akupun nggak begitu pasti, dari mana dia kumpulkan bunga bunga segar di Bedengnya itu.

            Sementara itu, Ilok yg perkasa masih "Having sex" dengan Video Game nya, sampai dia tidak menyadari kehadiranku disitu.Dari Warung si Agus di belakang Stuido, masih terdengar lagu " Ah Ah Ah.... mandi madu.... ". aKU tercenung sejenak, dan bergumam,... hebat yg menulis lagu 'Mandi Madu" ini fikirku. Apa nggak ? coba kiya fikir...Madu itu satu cairan kental dan bening, yg dihasilkan oleh lebah dan rasanya manis dan harganya mahal. Sehingga sering dipakai untuk perumpamaan, "Semanis Madu ". ( Padahal, kalau dibandingkan dengan Gula, masih manisan gula lagi ).

           Otakku mulai berjalan sembari memperhatikan Ilok "Having Sex" dengan Video Gamenya. ( kata orang Medan )..Cakap kotornya , kalau dah mandi aja pakai Madu.... alamaaaakkkk... terus Sabunnya pakai Emas Batangan, sampo Condetionernya dengan sari minyak Burung Cendrawasih... makkkk Jangggg.... hebat kali kawan kita... mewah kali ahhhh...Aku puji imaginasi si Penggubah Lagu itu. Seperti aku juga selalu mengagumi penulis lagu " Romo ono Maling ". Sebuah Lirik yg sangat sempurna.

             Perumpamaan tentang "Cinta"... ya... Cinta....nggak boleh rupanya aku ngomong soal cinta ?..... hahahahaha ironis memang...Gombloh sendiri pernah terkenal dengan Phrase Saktinya : " Bila Cinta Melekat, Tai Kucing Rasa Coklat".... I like that....mungkin, untuk sebagian orang...mereka nggak begitu perduli dengan soal soal remeh seperti itu...atau mungkin aku yg kurang kerjaan ?...mbuh ra weruh...

            Tapi yg jelas...Cinta itu begitu di Puja...seperti akhir akhir ini, kata Cinta juga dipakai untuk menyapa seseorang yg mereka sayangi. Contohnya....sewaktu aku di Sun Plaza aku tercuri dengar conversation antara seorang Wanita muda yg cantik jelita, dengan High heel shoesnya yg menambah lagi ketonggekan buntut bokongnya.. sedang menerima telfon : " Haiii Cintaaaaaa.... aku lagi di Sun Plaza...kangen banget mo jumpa.... untuk makan berdua....." wah bisa jadi lirik lagu ini... gumamku sembari berlalu.

            Apa enggak ?... cobaaaa ?... semua kata katanya berkahir dengan " A " dibelakangnya... pas kali ah ....ya Cinta menghadirkan getaran rasa..Yg membuai angga dan jiwa kadang merana..... Cinta itu memberikan semangat untuk berkarya... dan Cinta juga membuatmu rindu..... Cinta juga membuat hatimu Biru.. ( harus segera di bawa ke Unit Gawat Darurat, kalau enggak ... padam nanti kawan itu) ....Cinta ? ... hehehehe ....sialnya .....aku baru saja kehilangannya...dan aku perduli apaaaaaaaaa ??????

                Mataharipun merasa malu untuk terus bertengger disitu. Lembayung senja di Nibung Raya, sepertinya tak menjajinkan apa apa. Mungkin hanya sekedar membangkitkan Romantisme masa lalu. Aku agak terpegun, ketika membuka pintu untuk beredar dari situ. Tepat didepanku, seorang ibu yg buta, menggendong anaknya, ditemani anak lelakinya yg berumur 9 taun, masih sibuk mengumpulkan kertas dan karton bekas untuk menyambung hidupnya.

                Seolah merela tidak perduli dengan transisi waktu, yg sebentar lagi menjadi gelap. Sementara itu, tidak jauh dari situ, suaminya juga masih sibuk menyusun kertas kertas bekas bersama anaknya yg satu lagi, diantara deretan Mobil mobil Second Hand yg terhampar disitu.

                       Bunyi klakson mobil dan sodaco masih mendominasi sistim akustik telingaku yg mulai terganggu. Aaaaahhh... tapi Ini Medan Bung !!!!! itulah slogan "Panggaron" kita di Medan. Itulah juga mungkin yg memberikan semangat kita untuk terus berjuang hidup, ditengah tengah ketidak pastian arah tuju Republik ini.

             Si Poltak masih sibuk mengatur parkir, semasa aku berjalan melewati Jalan Kirana di belakang Medan Plaza. Nama Kirana juga membersitkan kenangan tersendiri di benakku. Apa tidak ? Aku pernah "numpang" tinggal disitu agak lama. Di rumah kepunyaan orang tua kawanku yg punya Studio di Nibung tadi. Dan disitulah juga kami hampir setiap hari latihan Band bersama. Waktu itu,.. kita bersiap siap untuk Ke Jakarta mengikuti " Light Music Contest" untuk mewakili Sumatera Utara.

            Disitulah juga, kami latihan untuk mengiringi Artis Rock Ikang Fauzi, almarhum Mas Gito, Meriam Belina ..aaaahhh... ternyata aku kurang bisa menghafal nama artis...Dan disitulah aku menunggui sahabatku Totok nggebugi Drum hampir setiap hari, sambil garuk garuk kepala.

            Tanpa terasa, aku sudah menghampiri Medan Plaza. Plaza yg aku cukup arif tempatnya pada waktu itu. Tidak banyak berubah memang, masih seperti yg dulu. Kesan bekas Kebakaran waktu itu juga sudah tidak nampak. Agak sunyi memang. Cuma itu yg kurasa....terdengar lagu " Didia Rokaphi " dendangan tukang becak mesin yg lagi menunggu penumpang " ngetem " di belakang Plaza.

             Malam itu, aku sempatkan untuk berkeliling dan melihat isi Medan Plaza. Nggak jauh berbeda dengan dulu. Kalau dulu, di Roof Top nya, ada sebuah Night Club. Dan temenku main drum disitu. Kami sering pulang sama sama, mampir sebentar untuk makan Nasi Urap di deket Penjara di tepian Sungai Deli tak Jauh dari Danau Toba Hotel. Nasi Urap dengan Teh Manis Jambu. Itu kegemarannya.Dan kini temenku itu sudah hijrah ke Jakarta, mengadu nasib disana.

              Setelah puas aku keliling Medan Plaza, akupun segera mencari Becak Mesin, yg merupakan Taxi khas masyarakat Medan.
Dari situ, sengaja aku minta tukang becak untuk belok kekanan, ke arah jalan Gajah Mada, sekedar nostalgia, melihat rumah tempat Kost ku dulu. Waktu itu, di depan rumah kostku itu, banyak sekali penjual Es Kelapa Muda, dan temenku Yudhi Tri, suka sekali minum disitu sambil kami nongkrong di depan rumah, diatas Binter Merzy nya. Nggak jauh dari situ, adalah rumah keluarga Reynold Panggabean, pemusik beken bekas pentolan the Mercy's itu.

              Sialnya,... disitu, ..ditempat kami biasa minum Es Kelapa Muda itu, kini sudah menjadi tempat mangkal Kupu Kupu malam. Ada yg berdiri di dekat pohon Mahoni sambil bertransaksi, ada juga yg duduk di atas Becak Mesin dibawah lampu, agar terlihat oleh Pelanggan kecantikan Wajahnya yg dibalut bedak setebal 4 milimeter itu. Gincunya merah meriah, pakaiannya diusahakan agar seminim mungkin.

            Dan mereka nggak segan segan untuk memanggil dan melambaikan tangannya untuk menarik perhatian orang yg lalu lalang disitu. Beberapa mobil nampak memperlahankan kelajuan kenadaraannya,.. begitu mereka cukup dekat, mereka membuka jendela mobilnya. Sebagian kelihatan berpakaian biasa, dan sebagian lagi yg agak lebih muda, nampak berpakaian Gaya Retro dengan baju berwarna warni meriah.

                 Saat itu, aku sudahpun melewati Kuburan Gajah Mada. Di "Lapo Tuak " sebelah kanan jalan masih ramai orang yg nongkrong disitu sambil mendendangkan lagu Batak Kesukaan mereka. Mereka menghilangkan lelah disitu. Disitulah KTV mereka. Mereka bisa melupakan sejenak beban berat hidup di kota, dengan menyanyi dan menenggak tuak yg melenakan itu... " Sirup ma ... sirup ma... harguk ma.. harguk.ma.. minumlah tuak mi........yaaaah... Lisoi ... lisoi... lisoi... " begitulah kira kira dendangan mereka. Sebuah lagu yg Khas diciptakan untuk Para Pelanggan Lapo Tuak, atau lebih terkenal dengan sebutan " PARMITU". Disitulah juga terlahir penyanyi penyanyi BATAK yg handal, dan lagu lagu Batak yg Top.

RING ROAD, RUMAH MUSIK, BLACK BERRY DAN SAHABAT SAHABATKU.....

                Kupacu motor pinjaman itu keluar dari Kompleks TASBI menuju Ring Road, yg penuh dengan berbagai Warung makan dan restoran. Dari yg Permanen dengan Design ala Restoran Artistic, tenda tenda Sea Food dan bahkan sekedar Penjual Jagung Bakar yg nampak bertebaran disitu. Tapi masih di dominasi oleh Ayam Penyet dan Bakso.

               Itu juga satu fenomena baru di Medan. Karena, kulihat sekarang banyak sekali Restoran khas Jawa bertebaran seperti Jamur di musim hujan dan kelihatan hampir di setiap sudut kota. Aneh... fikirku...Medan bukanlah daerah yg didominasi oleh suku jawa. Kalau adapun, mereka pendatang yg bertugas di Medan, atau mungkin PUJAKESUMA ( Putra Jawa Kelahiran Sumatera).

               Tapi lidah mereka tidaklah begitu banyak dibanding dengan Lidah Local, yg sudah terbiasa dengan masakan Padang, kue tiauw goreng ala Medan dan Nasi Goreng ala Pagaruyung dan Pakantan. tapi menjamurnya Restoran ala Jawa itu, sungguh Fenomenal bagiku. Bayangkan aja,.. yg dulu disetiap sudut terbaca sign board Warung Makan " Salero Bagindo", " Bareh Solok ", " Bundo Kanduang " dan macam macam lagi, bertukar menjadi " Wong Solo", " Joko tole ", " Wong Ndeso " , " Bakso Mas Tukino ", " Ayam Penyet Mas Bejo "dll, wah itu cukup menimbulkan tanda tanya bagiku.

                Diseberang jalan sebuah restoran Amerika penyaji "Makanan Segera" atau fast food, berdiri megah disebelah Gas Station Petronas, " Galon "minyak yg berbendera Malaysia itu. Didepannya penuh dengan Motor motor besar di display seperti layaknya Show Room kendaraan. Anak muda pada nongkrong di atas motor dengan ceweknya yg sibuk sms atau berhalo halo dengan Black Berry mereka. Telfon yg sepertinya menjadi status simbol, yg aku sendiri nggak akan mungkin mampu untuk membelinya.

              Aku sendiri nggak tau, sejak kapan itu mulai. Tapi ini satu perkembangan yg bagus. Medan sudah Go International sepertinya. Karena terlihat juga di jalan jalan utama kota beberapa Steak House, Restoran Thai dan juga restoran Jepang dan bahkan Restauran Itali pun sudah hadir di kehidupan mereka. Medan sepertinya sudah semakin besar. Cuma,...sepertinya Medan memerlukan Wali Kota yg agak " ada otak " untuk mengatur kota yg semakin semrawut dan seperti tidak punya aturan itu. Yaa....Medan memerlukan Pembenahan dengan segera. Medan memerlukan Unit Gawat Darurat untuk menangani Kota itu.

                   Restoran penuh, itu biasa, tenda Sea Food penuh,itu juga bukan hal yg luar biasa, karena orang Medan memang terkenal suka makan...tapi....tempat Jagung bakar yg remang remang ( hampir tanpa penerangan apa apa ) itu juga penuh... disitu.... rasa ingin tauku terusik...dalam hatiku bertanya..apa trend makan org Medan sudah berubah ? apakah Jagung Bakar ini sangat istimewa ? terus membakarnya pakai apa ? ...otakku berputar... masih bertanya.. apakah diolesi dengan Mentega Wismann ? sehinggakan warung yg gelap gulita dan penuh kursi plastik itu penuh dengan pelanggan. Tadinya aku agak nggak perduli. Tapi, aku...Si Chemonk, memang suka memperhatikan hal hal yg tidak diperhatikan oleh orang lain. Segera aku buat " U Turn " untuk melakukan Sidak ke tempat itu.

                  Kupilih tempat yg memang agak ramai pengunjungnya. Aku duduk dan memesan segelas kopi tubruk. Dan pada saat itu, aku mulai mengerti, kenapa warung itu penuh dengan pengunjung. Hampir semua Meja dan Kursi dipenuhi orang yg berpasangan. Ternyata cuma aku yg datang sendirian, ngopi sambil ngrokok, dengan sebentar sebentar nepukin nyamuk yg agak kurang ramah padaku. Ternyata, itu tempat kencan, tempat berbisik bisik mesra, tempat menuangkan rasa rindu dan gelisah cinta. Aku baru ngerti. Oalaaahhhhh... ternyata tempat Kencan toh..embeeeerrrr... pantes... rame. Dan si Tukang Jagung Bakar itu ternyata, memfasilitasi orang kencan.

               Remang remang, di tepi sawah, sambil pegang tangan dan saling suap Jagung... hahahahaha... romantis banget memang...jagung kok disuapkan.. ..aku jadi inget kembali untuk kesekian kalinya , lagunya mendiang "Gombloh", ... "Bila cinta melekat, tai kucing rasa coklat " bagiku,... phrase itu seperti satu ungkapan Sakti. Seperti banyak ungkapan ungkapan dari "Bob Dylan" yg sering singgah di otakku. Walaupun di tempat remang itu nyamuknya "segede gede ayam", mereka sepertinya nggak merasa terganggu sama sekali. Bila Cinta sudah melekat, gigitan nyamuk..aaahhh... peduli amat.
Setelah membayar kopi tubrukku, akupun segera beredar dari situ.Ring Road masih ramai, Ring Road masih menjanjikan dunia gemerlapan untuk sebagian orang. Disitulah mereka Ngedugem, ngeceng dan relax.

                  Tak jauh dari Ring Road, tinggal seorang sahabatku, yg arif, pinter dan cukup mumpuni untuk ku sebut " Sifu ". Jiwanya sudah bersatu dengan Musik. Jiwanya sudah terisi dengan khazanah yg langka, dan rumahnya sangat Identik dengan jiwanya. Aku merasa nyaman berada dirumahnya yg dipenuhi dengan alat alat Musik, dari Gordang Sembilan, Taganing Batak, perkusi, alat musik aborigin Australia sampai Gambus dan berbagai alat tradisi yg lain. Tidak mengherankan, kalau Rumahnya juga disebut " Rumah Musik ".

                    Cocok sekali memang. Dia seorang " Sifu ", itu bahasa Canton, yg artinya Guru Besar. Ya... dia seorang Ethnomusicolog, seorang praktisi musik dan nggak berlebihan kalau kubilang dia salah satu Ujung Tombak " World Music ", yg aku sendiri masih harus banyak belajar darinya tentang itu.Istrinya juga seorang Ethnomusikolog, penyanyi dan penggubah lagu dan juga sahabatku. "Suara Sama", itulah nama kelompok musiknya. Mereka menerapkan konsep World Musik, yg tidak dibatasi tembok dan aturan aturan yg kadang menyesatkan.

            Dirumah musik itulah aku sering berkunjung dan bertukar fikiran, walaupun aku sebenarnya lebih banyak mendengar dan belajar dari mereka yg nyata nyata jauh lebih arif dalam soal musik dibandingkan dengan aku. Kadang aku merasa kecil dihadapan mereka.

           Tapi....yg jauh lebih penting dari itu,... mereka adalah sahabat yg baik. Mereka sahabat yg tidak pelit untuk" Share " ilmu mereka dengan orang orang seperti aku yg berkemampuan sangat terbatas. Kami sering ngobrol "ngalor ngidul " sambil berdiskusi tentang konsep dan apa yg sebaiknya kita lakukan untuk lebih mengerti, kemana seharusnya Musik itu sendiri akan kita bawa dan mengkaji beberapa hal untuk dipelajari, ditelusuri dan dikembangkan. Dan kami sering tenggelam didalamnya, kalau kami sudah mulai berdiskusi.Dan sialnya... aku sungguh menikmatinya.

               Pelan pelan ku putarkan arah motorku beredar dari Ring Road, menuju ke arah kota.Aku nggak inget nama jalannya, tapi yg jelas aku menuju ke SHOOT, sebuah Bistro tempat hiburan yg terletak di belakang Trader's Steak House yg mahal itu. Terlihat mobil mobil mewah parkir di depannya. Ada Hummer, ada Chayene ada CLS 300 ... wahhh ternyata orang Medan kaya kaya ..itu yg keluar dari mulutku sambil berdecak kagum. Terlihat dari luar, mereka berpakaian cantik cantik, kelihatan mewah banget.

               Ada yg duduk memegang Cerutu sambil " Kombur" dikelilingi cewek cewek cakep, ada yg memegang gelas Wine sambil "manggut manggut" mengikuti irama musik. Aku hanya bisa tersenyum. Mungkin kalaupun aku kerja 20 taun lagi, juga nggak bakalan mampu untuk makan disitu. Itu memang bukan kelasku. Mungkin karena itu, golongan itu dibilang " Exclusive ". Buklan golongan Marhen commoners seperti aku.

                        Akhirnya, sampai juga aku di "Shoot" sebuah Bistro yg dipenuhi dengan pengunjung yg lagi nonton World Cup. Yaa... dimana mana demam World Cup. Temen temenku kebetulan perform disitu. Ocky Pendawa ( yg menumpangkan aku dirumahnya ) main Bass disitu, Ruspian temenku yg Gokil itu main drum, Budi dengan jari lincahnya itu di posisi Electric Piano dan Vesly Kandou yg bersura emas seperti "Dinah Washington" itu, melengkapi formasi itu. Biasanya, Febry " Mr. Percussion" juga ada disitu untuk menambah rancaknya musik mereka. Dan ternyata, sepuluh menit kemudian, Febrypun muncul dengan mata ngantuk, seperti kepenatan. Malam itu dia cuma pingin nongkrong. Lagi ogah main katanya.

          Lagu demi lagu mereka dendangkan.. dan seperti biasa, Vesly tidak pernah mengecewakan. Dia melantunkan lagu lagu Jazz dengan lunak, manis dan dibumbui dengan Legato nya yg pas dan tidak berlebihan itu membuatku merasa kagum. Paduan musik mereka yg pas dan pemilihan lagunya cocok banget sama telingaku. Aku nggak bisa bohong. Aklu sungguh menikmati itu.

             Tiba tiba terdengar lagu " Over Joy nya" Stevie Wonder dengan Vesly's style... wow...berapa lama aku harus belajar untuk bisa nyanyi seperti itu ? Berapa lama aku harus belajar main piano seperti Budi untuk bisa main lagu itu ? gumamku dalam hati. Aku tenggelam dalam angan dan segala keterbatasanku. Tapi aku gembira melihat kawan kawanku maju.

HONDA IDOL, RETRO, MEDAN JAZZ CAFE,, MAS NASHIR dan NEISYA....

         Siang itu Medan agak panas cuacanya. Berarti sekita 35 derajat Celsius.
Untuk yg biasa tinggal di cuaca yg dingin, mungkin ini satu penyiksaan bagi mereka. Tapi bagi aku, itu bukan hal yg luar biasa. Kata orang Melayu :" Aku dah Lali ", artinya,.. aku udah kebal kalau istilah panggaronnya.

Apa tidak ?.... bertahun tahun aku naik Trail Kuning bututku itu kemana mana dan dalam cuaca yg nggak berlebihan kalau kubilang persis seperti ini, atau mungkin lebih dari ini. Dengan Tas Rotan Bulat anyaman Kalimantan itu, aku melanglang buana kemana saja, bertemankan Jean rombengan yg selalu melekat di badanku.

Aku meluncur dengan "Astuti" pinjaman menuju Deli Plaza, untuk melihat jalannya pertandingan menyanyi Honda Idol, sambil mengambil gambar bintang tamunya yaitu Uma Tobing. Seorang penyanyi muda yg bakatnya luar biasa. Kak Uma, begitu aku membahasakan diriku padanya, akan menyanyi sebagai penyanyi Tamu, selama Juri pertandingan mengadakan rapat penentuan. Kak Uma juara tahun sebelumnya dan menjadi Bintang Tamu malam ini untuk menyemarakkan jalannya Honda Idol.

                     Kuparkir Astuti pinjamanku tepat didepan gardu satpam yg menerima titipan helm. Perasaanku jauh lebih tenang kalau kuparkir Astuti disitu, mengingat...itu barang pinjaman. Ehsan yg mengandungi amanah dan tanggung jawab yg harus kujaga. Tanpa harus bersusah payah mencari tempat itu, sudah terlihat kesibukan di beberapa stand yg memenuhi tempat parkir Deli Plaza.
                     Dan hiruk pikuk suasana nampak menghiasi setiap sudut yg dipenuhi dengan warna warna Jreng.Sebagian orang yg kutanya menjawab... bang.. ini Retro bang.. trend memang lagi trend Retro bang... kata mereka. Dengan muka bodohku itu, aku bertanya lagi, :" er... maaf ya dik, Retro itu apa ? "...sepertinya aku harus menelan pertanyaanku, untuk bisa kucerna kemudian karena keterbatasan Pentium III ku yg sudah kadaluarsa ini untuk berfikir.

             Di depanku berpuluh orang yg ikut lomba Nyanyi, menari dan peragaan busana. Peragaan busana ? dimana Cat Walk nya ? karena kulihat hanya ada satu pentas besar yg sarat dengan alat alat Band. Amplifier dan speakers sepertinya mendominasi tempat itu. Tapi... dimana Cat Walk nya ? dimana Dance Floor nya ? katanya ada pertandingan menari juga ?...ternyata benar dugaanku.
             Saatnya tampil bagi para peragawan dan peragawati retropun sampai. Mereka berbaris ditepi bawah panggung yg tingginya satu setengah meter itu. Music rancakpun mulai memekakkan telinga untuk mengiringi lenggak lenggok para peraga busana tadi. Memang, serba warna warni baju mereka.

Sepatunya warna merah jreng, bajunya warna biru jreng, sabuknya warna biru jreng, bandanonya warna ungu... jreng. Mulai dari situ, otakku yg lemah mulai menangkap sinyal .... oooohhhhh ternyata.. yg disebut retro tadi itu... Jreng tooooooo.....aku mulai ngerti maksudnya.. oalahhh Retro itu Jreng to... hehehehe. Kalau bahasa Medannya " warna Es Doger ".

             Secara jujur, mata esteika ndesoku agak tergugat melihat kombinasi warna warna tersebut. Kaget. Terkezuuuut. Mungkin karena belum terbiasa dengan pemandangan seperti itu. Betul saja....hampir di merata tempat, semua berpakaian Jreng. Dengan kombinasi Rujak Warna yg lagi ngetrend itu, mereka bertebaran memenuhi tempat itu. Ada juga stand yg menawarkan jasa Foto Retro. Semakin Narsis kombinasi pakaian yg dipakai, maka semakin Retrolah dia.

              Aku jadi teringat sewaktu masih sekolah, ketika aku dibentak guru seni lukisku, hanya karena aku mengkritik lukisan Vincent Van Gogh "Starry Night " dan " Cafe Terrace at Night ". Aku bilang secara jujur,... yg ternyata, kejujuranku menuai bentakan dan gelak tawa seluruh kelas. Aku bilang; " Pak, ini kan apresiasi seni. Sementara kami kurang expose kepada karya karya seni Agung. Jadi saya nggak tau, kalau lukisan yg saya bilang Rujak itu Lukisan Vincent Van Gogh". Kubilang sama guruku. Loh.. kalau malam hari,.. walaupun berbintang gemintang, apakah langit akan berwarna biru seperti itu ? tanyaku jujur ( atau lebih tepat kubilang bendul ? ).

             Pertanyaan itulah yg membuat aku kena bentak. Tapi sebetulnya, mungkin memang mata awamku yg tidak berfilter seni ini yg membuatku demikian. Aku tersenyum sendirian seperti orang yg "bocor halus" sambil terus memperhatikan gerak gerik golongan Retro tadi.

              Malampun tiba..aku segera naik ke lantai tiga deli Plaza menuju Medan Jazz Cafe. Untuk menjenguk kawan kawan yg main disitu. Sewaktu aku sampai, beberapa kawan musisi memang sudah disitu. Akupun menyapa mereka dan menyapa dengan hormat senior kami, Bang Ismet, yg kebetulan juga Tuan Empunya Cafe, bersama Istrinya yg baik hati sekali.

Disitu juga kujumpa Irwansyah, seorang Praktisi World Music, Mas Nashir, seorang Photographer, penyair dan budayawan serta Neisya anak Irwansyah sahabatku itu.

                Kami ngobrol sebentar betanya kabar dan sambil itu aku banyak mengajukan pertanyaan ke Mas Nashir tentang cara memotret, karena sebentar lagi aku harus kebawah memotret Kak Uma yg jadi Bintang Tamu.
Pada malam itu, pemain keyboard mereka nggak datang. Aku udah agak kecewa sebetulnya, karena yg main disitu, salah satu pemain Keyboard kesukaanku. Mainnya bagus banget. Setiap kali aku kesitu, permainannya selalu bertambah baik.

                Bang Ismet dan Emil yg main bass, minta tolong aku untuk main nggantikan Yusri, keyboardist handal itu. Dalam hatiku, aku nggantiin Yusri main ? ... you must be joking...karena... secara jujur, kalau dibanding Yusri, wah... ya nggak ada apa apanya aku main. Secara tidak kusadari, aku mulai nervous... tegang. Aduuuh... aku harus main dengan para pemain handalan ?...org Medan bilnag.. aaahhhh hajab kali aaaahh.

               Pertanyaan dibenakku pun mulai hadir. Mau main lagu apa ya ? .. lagu apa yg mampu kumainkan dengan mereka. Aku kecut,...aku merasa kerdil dihadapan mereka,...tapi karena mereka kawan kawan baikku, dan aku juga menghormati Bang Ismet dan kak Nida yg baik hati itu, aku beranikan diriku juga untuk main dengan mereka.

                  Dengan terbata bata, sambil sesekali didikte Emil yg main Bass, akupun berusaha mati matian untuk bisa mengimbangi permainan mereka. Ternyata, aku masih jauh sekali ketinggalan. Tapi .. paling tidak, aku sudah berhasil memberanikan diriku main sama mereka. Itu satu pengalaman yg bagus sekali bagiku. Aku merasa segan dengan Penyanyinya Faisal, yg kebetulan banyak menerima request lagu lagu yg berat. Tapi aku berusaha untuk mengejar.

                 Akhirnya, aku harus pamit saat itu, untuk memotret di ajang Honda Idol tadi, dengan janji, nanti aku akan kembali lagi dan main keyboard untuk mereka. Dalam perjalanan turun itu, sebetulnya aku stress. Aku nervous memikirkan,... apa yg nanti harus kumainkan. Apakah aku bisa ?...

                Akupun sampai di depan Pentas Honda Idol untuk memptret Kak Uma. Tapi...ada sesuatu yg agak aneh dipentas itu. Aku berusaha mencari, apa yg aneh di situ. Ternyata, begitu aku mulai memotret, aku baru menyadari, ketiadaan lighting di depan untuk menyorot kegiatan di atas pentas itu. Kok Bisa ?..... wah ya nggak tau..tapi yg jelas, nggak ada hubungannya sama Retro tadi. Bagaimana mungkin, sebuah pentas Music, tanpa sebuah Spotlight pun menyoroti mereka. Wajah merek nggak nampak. Anehnya, justru Spotlightnya, menerangi punggung dan bokong mereka. Hasilnya, wajah wajah mereka, kelihatan seperti Silhouette. Gelap di depan, terang di belakang.

                     Sepertinya, nggak sedikit konsert yg aku hadiri, tapi belum pernah Come Across satu pengaturan lampu yg demikian. Lampu itu dipasang dibelakang untuk menerangi apa ? Back dropnya sudah Retro dan jelas kelihatan. Kalau mau dipasang lampu dibelakang, sepertinya akan lebih bagus, kalau lampu itu diletak di Bawah menyorot keatas Back Drop untuk memberi kesan warna. Akupun Frustasi, karena tidak mendapat cukup cahaya untuk memotret. Akupun terus melangkah pergi, sejenak selepas Kak Uma menyanyi.

To be continued ....... ( Nek ora kesel )....

No comments:

Post a Comment