Thursday, May 5, 2011

Paris Van Java, Peuyeum dan Factory Outlet

Paris Van Java, Peuyeum dan Factory Outlet

Bandoenk 


           Sore itu, seperti biasa, Kota Bandung di selimuti awan abu abu dan agak gelap. Memang tidak setebal Awan Wedus Gembel di Merapi yg sedang kena Asma, tapi cukup merisaukan juga. Tanda tanda turunnya hujan seperti menyanggah ramalan Badan Meteorologi dan Geo Fisika yg nggak pernah sekalipun tepat, kecuali staffnya dulu memang jago meramal Nomer Togel.

           Jalanan kota Bandung sedang sesak,.. maklum Week End. Dan kemacetan jalan, seperti setiap week end akan di dominasi oleh kendaraan ber Plat Nomer “B”, alias kendaraan dari Jakarta ( sementara, kendaraanku juga plat “B” hehehehehe).

           Fenomena itu terjadi, setelah dibukanya Jalan Tol Jakarta Bandung belum lama ini. Orang Jakarta punya kebiasaan baru, Week end di Bandung, Puncak, Taman Safari Cisarua dan beberapa daerah lain di Jawa Barat yg kian berbenah diri untuk menyambut para Week End-ers ini.

           Aku segera menyisip diantara kemacetan Jalan Asia Afrika, belok kekanan menuju arah Jalan Braga yg terkenal itu dengan Kuda Hitamku yg agak lebih praktis dibandingkan kalau aku harus nyetir mobil. ( yg aku sendiri memang nggak punya.. hehehehehehe )

           Alasannya cukup klasik memang..untuk mencari udara segar dan melupakan rutinitas Jakarta yg memang membuat orang di hinggapi Migrane permanen. Apa tidak ?... coba anda bayangkan..jika anda Hidup dan Bekerja di Jakarta, Kota Megapolitan yg berpenduduk lebih 13 juta umat itu, anda harus bangun sebelum ayam sempat berkokok, karena anda harus berjejal di jalan dan sampai di tempat kerja tepat pada waktunya..berpacu dengan waktu dan angkot…..kasian deh lu……dan karena itulah, alasan Klasik ala Jakarta  bila kita datang appointment  terlambat . “ Aduuuuh, sorry banget dech… macetnya minta ampun…. “.

          Mungkin karena alasan diataslah, maka orang Jakarta berbondong bondong datang ke Bandung setiap Week End untuk melepaskan lelah, relax dan unwind untuk dua hari akhir pekan itu.

Pintu Toll Pasteur menjadi leher botol di akhir pecan. Macet dan membuat orang frustasi kadang. Dan bukan disitu saja, pemandangan itu akan diikuti oleh beberapa kawasan yg popular, seperti daerah Suka Jadi yg punya Paris Van Java, daerah Dago dan daerah Cihampelas dengan Ciwalknya.

         Alasannya mungkin nggak sama,… yg membawa Keluarga, akan bilang, “ Ohh kami week end-an sambil wisata Kuliner, bawa keluarga , itung itung ngilangin stress Jakarta “…hehehehe betul juga seh… ngilangin Stress Jakarta, tapi… nambahin Stress Bandung…nah loooh ? kok  bisa ? ya iyalaaaaahhh… masak ya iya doooong….hehehehe. Ya  karena Bandung jadi macet oleh kendaraan Jakarta, yg kebanyakan dari mereka belum begitu hafal jalanan Bandung, jadi ngalor ngidul, sambil celingak celinguk, slow dan nggak jelas mau kemana tujuannya. Dan… Bandung pun macet...

          Itu alas an pertama. Membawa keluarga bersantai. Nah itu untuk yg berkeluarga. Kalau yg Bujangan ? alasannya, “ Ooooh kita ke Bandung mo Check Out beberapa tempat Factory Outlet “… oooohhh Shopping toh ?... iya, Bandung memang syurga bagi Shoppers Jakarta yg terkenal berkantong tebal. Kaos, Jean, Tas dan berbagai barang lain yg sebetulnya, di ITC –Ambassador Jakarta atau mangga dua juga banyak.

          Tapi, … itulah trend.. itulah gaya hidup,… dan itulah fakta yg membuat Bandung kian terpatri namanya menjadi Kota Factory Outlet. Nggak percaya ?...pergi aja ke Jalan Riau, Cihampelas dan masih banyak tempat lain yg menjanjikan keasyikan berbelanja, ala Factory Outlet.

          Aku juga heran,…. Karena selama di Bandung… aku juga sempat mengunjungi beberapa Factory Outlet, terutama yg berderet di Jalan Riau Bandung. Dari satu FO ke FO yg lain, hamper 2 jam juga lah aku keliling…akhirnya ? nggak satupun barang yg kubeli. Nah Loooh ? kenapa ?...ternyata,… Cuma namanya aja Factory outlet. Tapi… harganya tetap harga Butik… alias tak terjangkau kantongku yg kelas Warteg ini.

          Sempat bergidik juga bulu jembrinaku melihat harga yg terpampang disetiap Merchandise yg di gantuing dan di display disitu. Muahaaall…hehehehehe. Itu mungkin bagi aku mahal …mungkin bagi orang Jakarta,… mereka akan segera memenuhi keranjang belanjaan mereka, sambil saling berbisik sesame mereka “ waduuuh… murah banget nech…yuk kita borong aja…ntar takut kehabisan stock “….

           “ Wah kalau orang Jakarta sih, tajir tajir banget “ komentar salah satu sopir yg kebetulan nunggu Juragannya hampir empat jam shopping disitu dan belum keluar keluar. Sementara, aku manggut manggut sambil berfikir, … Tajir ? .. aku masih belum faham apa artinya. Aku baru menyadari, bahwa Tajir itu artinya Kaya… setelah mengikuti setiap obrolan mereka sambil meneguk kopi tubruk di warung pinggir jalan Riau.

            Wah ,.. ini sudah istilah baru … Tajir ? … entah bahasa apa… aku sendiri malu mau bertanya,… takut di bilang nggak Gaul…dan itulah sketsa Jalan Riau Bandung. Sementara itu, si Kumis, begitu sopir sopir itu memanggilnya, nyeletuk enteng “.. eeeyhhh…emang bener sih… mereka tajir tajir banget… tapi, pelitnya ngedubilah setan… reseh banget …. “…  dan si Botak yg Ketiaknya bau WC nyeletuk “ Embeeeerrrr “ wah.. ada Vocabulary baru “ Reseh “… aku juga masih diam, berperan sebagai pendengar yg baik, sambil dalam hati terus bertanya… “ Reseh ? “… kalau rese, aku tau… itu udang kering… nah kalau “ Reseh “ ?...ditambah lagi “ Embeeeer “…ember aku tau… tempat menampung air… tapi kalau ember yg ini ? artinya apa ?.....

PEUYEUM ( Poo Aren’t )

          
             Menurut kamus Djoko Darminto ( diawur aja kalau nggak pasti ), Peuyeum adalah sejenis makanan, yg terbuat dari Ubi kayu atau singkong, menyerupai Tape di masyarakat Jawa ( bukan Tape Recorder ya ), tapi agak panjang, putih, mulus, manis, sexy, nggemesin, centil, bohay…. Errrrr… terutama, Peuyeum Bandung.

              Agak istimewa memang. Apalagi Peuyeum yg di Bandung, ada bermacam ragamnya. Seperti juga Dough Nuts, peuyeum juga disajikan dengan berbagai bentuk, gaya, rasa dan tentu saja harga.

              Di Jawa Barat, Peuyeum memang terkenal. Peuyeum yg asli,… biasanya, berasal dari daerah daerah sekitar Bandung, seperti Garut, Ciamis, Tasik Malaya, Cimahi dan lain lain. Mereka masih Asli dan Original tanpa Touch Up dan Flavour. Dan harganya juga belum begitu melambung.

            Sedangkan , Peuyeum di Kota Bandung, tentu saja lebih lebih bergaya, lebih trendy, lebih wangi dan lebih sexy. … Loh Kok bisa ? … kamu ini ngomong soal apa seeeh ? lha iya… aku ngomong soal Peuyeum.

            Karena kalau kita ngomong soal Paris Van Java, tanpa menyinggung soal Peuyemnya, sepertinya nggak komplit.

Kembali… ke  Peuuuuu ?…. Yeuuummmm.

            Seperti saya uraikan diatas sebagai Mukadimah, … Peuyeum Bandung memang nggak sama dengan Peuyeum Asli dari daerah sekitarnya. Tentang rasa, gaya dan kemasannya.. Tanya aja sama org org Jakarta yg tiap Week end pergi ke Bandung memenuhi kota itu untuk urusan Peyeum.

            Memang Peuyeum telah menjadi salah satu Wisata Kuliner Pilihan di Bandung. Terutama bagi para bujangan yg bermobil mewah dari Jakarta. Tempat tempat Populer Peuyeum pun selalu penuh. Dari daerah Dago, Paris Van Java, Ciwalk dan Pasirkaliki Mall, serta tempat tempat tongkrongan popular lainnya selalu penuh dengan tamu tamu Week End dari Jakarta.

            Dan Peuyeum pun laris manis. Bahkan nggak jarang yg pulang ke Jakarta membungkus. Errr.… iya… membungkus…lha apa Peuyeum nggak bisa di bungkus ? kan bisa…weleeeeh… gitu aja koki repot. Dan memang ada jenis Peuyeum yg siap di bungkus dan dibawa kemana mana. Nahhhh… untuk yg nggak kebagian Peuyeum Bandung yg seger seger itu, ada juga yg singgah di jalan cari Peuyeum yg asli di daerah sekitar Bandung. Tepuk dada Tanya selera.

FACTORY OUTLET dan cerita di sekitarnya

             Beranjak dari berbagai FO yg bertebaran di jalan Riau tanpa sehelai barang FO yg kubeli, akupun berhenti sejenak memeriksa isi dompetku. Untuk memastikan, bahwa masih ada duit di dompet untuk makan, karena lagu dendangan Mus Mulyadi mulai berkumandang di perutku. Ternyata aku masih punya empat puluh ribu perak sisa bayar kopi empat gelas dan beberapa rokok ketengan di warteg tadi.

             Ermmm… masih kaya aku ( gumamku dalam hati )..sambil bergerak pelan pelan menunggang si Hitam yg nggak penat penat membawa aku keliling kota Kembang, akupun ternampak sebuah kedai makan yg agak aneh. Masih di Jalan Riau, tepatnya di depan Bank HSBC.

              Tertulis disitu jelas sekali, “ NASI KALONG, TOP MARKOTOP “. Itu yg membuatku penasaran ingin mencoba. Nasi Kalong ? … yup…apa ada Kalong Gorengnya ya ? apa Kalong masak Asam Manis ? tanyaku dalam hati.

             Banyak sekali orang makan disitu. Aku agak keder juga mau masuk kesitu. Apa enggaknya ?... yg parkir disitu, Alphard, CSL 3000, Hummer dan beberapa mobil mewah lainnya. Bukkaaaaaannn…. Bukan Restoran Mewah. Cuma kedai makan dengan beberapa payung Teh Botol dan meja bulat disitu. Jauh dari kesan mewah. ..Tapi kenapa yg dating Borjouis semua ini ?... wah gawat neeehh….kembali aku memeriksa dompetku. Sengaja kusimpan sepuluh ribu perak untuk jaga jaga beli bensin motor bututku.

            Langit yg semula jinggapun berubah menjadi kegelapan. Aku masuk ke tempat itu dan memarkir motor bututku diantara mobil mewah tadi. Kulihat, beberapa org dengan pakaian keren ngantri untuk mengambil makanan yg disajikan dengan gaya Buffet itu. Ada yg bergaya seperti JUPE, ada yg dandanannya mirip Dewi Persik, wangi dan trendy. Akupun ikutan ngantri sambil deg degan, takut nanti nggak terbayar, harus cuci piring pulak aku disitu.

            Setelah berdiri disitu,.. seorang pramu-kedai mengulurkan piring melamine padaku. Ada pilihan Nasi Putih dan nasi merah ( sebetulnya kelihatan Ungu dimataku ). Akupun mengambil nasi, kucampur yg putih dan yg merah. ( Nasionalis banget ). Di hadapanku ter display beberapa panic yg berisi, Kari ayam, Tahu masak Kecap, Udang goreng tepung, tahu di gulai, telor goreng, tumis kangkung panas dan buncis panas yg di tumis dengan bawang putih. Tapi… nggak satupun yg ada disitu berunsur Kalong. Asli… nggak ada Kalong goreng atau Kalong masak Tauco.

               Sengaja aku mengambil kuah kari ayam ( kuahnya saja ), tempe goreng, tahu kecap dan kerupuk. Yup… aku main aman.. walaupun aku teringin sekali makan Udang Goreng tepung yg bohay itu. Tapi kembali aku teringat kantongku yg nggak begitu tebal…” Minumnya apa mas ? “ Tanya sang kasir “ The Botol “ kujawab. “ Semua dua puluh dua ribu lima ratus mas.”  …. Oooooops… terbeliak aku jadinya. Lha aku itu Cuma ngambil tempe, tahu, kuah kari dan kerupuk ? .. ck ck ck ck…otak kere-ku mulai mencongak dengan cepat.

               Tempe sepotong 500 perak, tahu sepotong 500 perak, kerupuk.... taruhlah 1000 perak, teh botol 3000 perak, aaah baru lima ribu perak. Dalam hati, ..mau aku rasanya nggak jadi bayar dan meninggalkan piringku di depan Kasir. Tapi, gengsi kere-ku kembali muncul. Kubayar juga akhirnya, walaupun sewaktu menelan makanan itu terasa agak susah dan pedih tenggorokanku.

             Yg mahal mungkin karena yg nongkrong disitu orang orang kaya ya ?... ( ‘kali ). Aaaaahhh,… ternyata aku harus membayar mahal untuk sebuah tongkrongan yg nggak begitu memberiku banyak manfaat.

           Tapi di dalam hati, aku juga masih bersyukur, yg 30.000 perak tadi masih ada 7500 perak, berarti, masih ada duitku untuk beli rokok ketengan dan sebungkus Indomie untuk PPPK  ( Pertolongan Pertama Pada Kelaparan ) kalau malam nanti aku laper sehabis ngedit kerjaan. Hehehehehe… rasa ingin tauku ternyata harus ku bayar mahal… ( Rasain… lain kali, ..kalau udah kelasnya Warteg… ya udah ke Warteg aja.. amannnnn…nggak usah neko neko.. )….


Hallo Hallo Bandung …..Ibu Kota Periangan....

             Jika kita menyimak sebuah lagu perjuangan “ Hallo Hallo Bandung, Ibukota Periangan “….aku jadi penasaran… Ibukota Bandung yg di sebut “Periangan” itu dimana ? ..er…ada yg bisa bantu ?... karena selama beberapa minggu di Bandung, aku sendiri belum come across tempat yg bernama Periangan, seperti dalam lagu itu.

          Aku juga udah berusaha bertanya kesana kemari, … tapi jawaban yg ku terima hanya senyuman sambil bilang “ Nggak tau ya…selama tinggal di Bandung, nggak pernah tau tuh “ … nah loooh ? …terus yg namanya Periangan ini, apa hanya sekedar Lyric lagu aja ?...aaaahhh mungkin ini Ibu Kota Kabupaten Bandung ( fikirku dalam hati ). Dan rasa penasaranku, membawaku ke Bandung Selatan ( di waktu siang tapi ).

             Ini juga berhubungan dengan sebuah Lyric Lagu yg berbunyi “ Bandung Selatan Diwaktu Malam “… dalam lagu Keroncong itu, digambarkan, Bandung Selatan itu sebuah tempat yg Indah. Cuma, dimana tepatnya, nggak di sebutkan dengan jelas di Lagu Keroncong tersebut.

             Maka, bermulalah pencarian dan penelusuran atas dasar Penasaran dengan Lagu tersebut. Kuperiksa dulu isi dompetku, yg memang selalu pas pasan, just to make sure aku ada duit beli bensin, makan dan rokok ketengan.

            Ini bermula dari tempat Kostku di daerah Buah Batu, yg kebetulan di Bandung daerah selatan. Kuarahkan Si Hitamku, menuju Jalan Buah Batu, kea rah Banjaran, melalui Dayeuh Kolot, yg agak ribet suasananya. Karena untuk soal ini, memang Bandung harus diakui jempol dalam mengatur urusan Lalu Lintas, yg berkesan “ Sak Geleme Dewe “ dalam bahasa Inggrisnya.

              Dari pengaturan giliran Lampu Hijau di setiap Traffic Lights yg tidak mengikuti peraturan Dunia Persilatan, sampai tingkat kedisiplinan Angkot dan sarana transportasi yg lain, dari Containers , Truck, angkutan umum, dokar dan tentu saja sepeda motor yg mendominasi setiap Garis Depan Traffic Lights, memang bisa mendatangkan Level of Stress yg luar biasa.

              Mungkin yg paling praktis, memang pakai sepeda motor. ( Lha iya, lha wong aku gak punya mobil kok ). Yang pasti, segala bentuk pelanggaran Sepeda Motor, sepertinya di Halalkan oleh aparat yg memang bertugas di setiap sudut. ( ada yg lagi SMS an, ngrokok, ngopi dll, tapi nggak kelihatan di tengah jalan mengatur Lalu lintas ). Dari Soal menerobos lampu merah, menerobos jalur orang lain, menerobos One Way, sepertinya di Aminkan saja oleh aparat.

             Aku memasuki daerah Dayeuh Kolot, yg kata orang selalu banjir ketika hujan besar. Dayeuh Kolot sendiri, terletak di bantaran sungai, yg jauh dari kesan bersih. Alias, di tepian sungai, di tepi jalan, dan hamper dimana mana akan kelihatan sampah bertumpuk. Bahkan ada sebuah rumah, betul betul di pinggir sungai dekat jembatan yg bertanggulkan sampah.

             Jalan di sekitar tempat itu, bisa di bilang hancur hancuran. Artinya, memang parah sekali keadaannya. Jalan kecil, yg lewat Truck dan container, di tambah Angkot yg memang merasa memiliki jalan dan kawasan itu. Maka , tak ayal lagi, jalan di daerah Dayeuh Kolot, menjadi salah satu jalan yg paling Semrawut untuk menuju ke Bandung Selatan. Mungkin juga karena keadaan itulah, hanya 30 % dari penduduk Kabupaten Bandung yg datang menunaikan hak mereka ketika berlangsung Pilkada Bupati, dua minggu yg lalu.

             Setelah melewati daerah Bale Endah, yg agak lebih nggak parah ( how to describe that ? ) , maka aku segera bisa melihat mulainya keindahan Bandung selatan, walaupun keadaan jalan masih sama, tapi, di kiri kanan jalan mulai terlihat sawah sawah yg asri, dan di Ujung jalan nun jauh disana sudah terlihat bukit bukit dan gunung yg menjulang.

             Melewati daerah Banjaran, yg terkenal dengan Home Industri Guitarnya yg bahkan sudah di Eksport ke Luar Negeri, kembali kesemrawutan terjadi, begitu kita melewati depan pasar, setelah Masjid Besar Banjaran. Suasananya Klise banget bahkan. Jalan Sempit ( karena sebagian jalan sudah dipakai oleh para pedagang kaki enam. Dan kondisi jalannya juga kurang nyaman. Berdebu sewaktu kering, dan becek berlumpur tipis ketika waktu hujan.

         Tak berapa lama, terlihat Tulisan, “ Selamat Datang Di Kabupaten Bandung “. Yg ber Ibu Kota “ Soreang “, bukan Periangan. Kok bisa ?... wah ya nggak tau aku. Soalnya udah kucoba bertanya kesana kemari akan keberadaan Periangan, sepertinya nggak ada yang ngerti. Ya udah,… aku anggap, Periangan hanya Bumbu Lyric sebuah lagu. Yg diatur dalam Konvensi, “Lisensia Poetica” yaitu kebebasan dalam seseorang menulis lirik lagu.

        Dari Soreang, sudah Nampak jelas keindahan Bandung selatan, dan ada beberapa papan tanda, yg menunjukkan beberapa tempat Wisata, seperti Situ Patenggang, Pengalengan dan Ciwidey. Dan Ciwidey lah tujuanku.

        Menuju kearah Ciwidey, pemandangan memang Luar Biasa cantik. Dingin, dan memang tidak berlebihan, kalau ku bilang, Sawah Sawah yg berteras di Ubud Bali, ternyata punya pesaing yg ketat, yaitu di daerah Ciwidey ini. ( nanti gambarnya tak Up Load kemudian ya ).

        Sawah sawah yg berteras, saung saung ( Gubug ) khas sunda, sungai sungai jernih di kaki bukit, aaaaahhhh… ternyata perjalananku yg cukup ribet untuk sampai ketempat ini, terbayar juga dengan pemandangan yg begitu menakjubkan ini.

         Tempatnya dingin, seperti Brastagi di Sumatera Utara, atau Bedugul di Bali, tapi mempunyai cirri khas yg tersendiri. Dan sudah pasti, bertebaran Villa Villa cantik, berkonsepkan Arsitek Tradisional Sunda yg apik.

          Aku berkunjung ke rumah sahabatku Kang Asep, yg kebetulan rumahnya berada di salah satu lereng bukit di Ciwidey. Aaaaahh… memang enak suasana disini. Segera, segelas Kopi Panas, singgah di genggaman tanganku, sambil sebentar sayup sayup terdengar suara Degung, music khas Sunda, yg memang terkenal Soothing itu. Suara, suling, gendang , siter dan sinden yg betul betul membuat aku betahj banget untuk duduk berlama lama disitu.             

          Kabut di Ciwidey perlahan lahan mulai turun, memagari sawah sawah yg tadinya kelihatan hijau dan menyegarkan itu. Sebentar sebentar, kubetulkan jaketku sembari melipat kakiku di celah celah sofa agar tak begitu terasa dinginnya.

          Hari sudahpun mulai sore, dan kopiku udah lama dingin. Terdengar suara Adzan dari sebuah masjid yg berada diantara Villa Villa yg bertebaran di bawah rumah Kang Asep. Kami masih bicara ngalor ngidul, soal music tradisi, soal hidup dan soal makanan. Eeeerrr… ngomong ngomong soal makanan, tiba tiba perutku sudah berkokok, maka kamipun bergerak turun untuk mencari makan di bawah.

          Kami sampai ke sebuah kedai makan, yg berjudul “ Soto Bandung “, yg banyak di ceritakan oleh kang Asep. Bayanganku, kalau Soto Bandung, pasti yaaaa… seperti Soto soto yg lain, berkuah dan lain lain gitu.

         Ternyata, begitu masuk kesitu, aku dapati, jauh banget dari Soto yg aku bayangkan. Karena, disitu sebuah warung makan yg lengkap dengan berbagai macam lauk, dari Babat sampai tempe goreng, lalapan, sambel, gulai, pokoknya seperti layaknya Rumah Makan Padang ala Bandung.

         Tentu saja rasa dan cara penyajiannya jauh berbeda dengan sajian Rumah Makan Padang. Ada makanan khas Bandung, yaitu “ Gepuk “, kalau di jawa, mungkin “Empal”, kalau Padang, mungkin rendang.

        Tapi Gepuk punya kenikmatan tersendiri. Empuk, bumbunya meresap dan “muaak nyuuuussss”. Ditemani suara degung sunda, aaahhh…. pas banget dengan suasananya. Kamipun makan bertiga, ditemani seorang pemain gendang sunda yg juga temen deket Kang Asep.Salah satu pemain Gendang terbaik di Bandung Selatan. Aku suarakan niatku untuk belajar Gendang padanya, karena memang aku sudah jatuh cinta dengan Gendang Sunda  yg begitu dinamik dan penuh dengan timpahan timpahan yg energetic.

        Haripun sudah malam, dan akupun pamit ke Kang Asep untuk pulang ke Bandung, karena esukan aku harus ke Pengalengan, yg sebetulnya nggak jauh dari Ciwidey. Malam itu begitu dingin, dengan jaketku yg hanya satu lapis, tanpa kaos kaki, dan naik motor ? aahhh..aku harus pulang juga mala mini. Kang Asep meminta aku tidur di rumahnya untuk besuk lebih dekat kalau mau ke Pengalengan. Tapi aku bilang ke dia, bahwa aku harus pulang ke Bandung mala mini, ada kerjaan yg harus ku selesaikan di Studio malam ini.



To be Continued :

No comments:

Post a Comment